Menyajikan Berita Berdasarkan Fakta

Ketum HMI MPO: Aktor Politik – Politik Calon Gubernur Sultra Kekuasaan Hegemoni Sumber Daya Pertambangan Terkuras 81 Juta Ton Berakhir Di Koruptor

SULAWESI TENGGARA, BIN.COM – emperdebatkan mengenai dinamika demokrasi lokal di Sulawesi tenggara memiliki hubungan signifikan yang terbangun dengan keberadaan industri tambang.Industri tambang tidak saja sekedar aktivitas ekonomi dan bisnis juga menjadi instrumen persekongkolan para aktor lokal, politisi dan bisnis.

 

Relasi kuasa antara politik dan bisnis sudah

lama terbangun tidak saja terjadi di Sulawesi tenggara, tetapi sudah menjadi fenomena umum dalam peta bumi perpolitikan nasional Fenomena relasi politik dan bisnis di negeri ini telah terjalin sejak rezim Orde Lama sampai rezim Reformasi saat. Di era demokrasi saat ini perselingkuhan antara politik (politisi) dan kelompok bisnis semakin terstruktur dan terdesentralisasi.

 

“Isu demokratisasi, desentralisasi atau kebijakan otonomi daerah menjadi ruang terbuka dan struktur kesempatan terjadinya perselingkuhan itu. ”

 

Perselingkuhan terstruktur itu semakin

telanjang disaat ritual demokrasi

(Pilpres,Pilkada, dan Pileg).

 

Daerah yang memiliki potensi sumber daya alam seperti tambang, kelapa sawit perselingkuhan itu tidak saja sebatas relasi ekonomi-bisnis, tetapi merambah pada penguasaan wilayah

kekuasaan politik.

Sumber daya alam, industri tambang dan kelapa sawit menjadi instrumen relasi kuasa para aktor politik. Kasus Konawe Utara, Konawe Selatan Kolaka Utara Kolaka misalnya, sebagai salah satu penghasil tambang terbesar di negeri ini, sudah menjadi pengetahuan publik bahwa para aktor lokal, politisi, dan kelompok bisnis telah menyandera demokrasi lokal, khususnya saat pemilihan kepala daerah (Pilkada).

 

Pilkada tidak saja sebagai ajang pesta demokrasi, tetapi juga menjadi arena penguatan jaringan patronase politik dan bisnis. Keterlibatan sejumlah aktor bisnis menjadi bandar politik atau cukong Pilkada. Tidak mengherankan bila Pilkada lebih beraroma tambang dari pada mencitrakan political citizen. Di tengah mahalnya biaya demokrasi (hight cost democracy), keterlibatan sejumlah bos-bos

tambang dalam pesta demokrasi lokal tidak terhindari.

 

“Pilkada beraroma tambang itu semakin sempurna karena mayoritas elite-elite partai politik berlatar belakang sebagai pengusaha tambang atau memiliki hubungan dengan orang- orang tambang”.

 

Wajar saja bila sejumlah warga menyebut Pilkada di Kalimantan Selatan sebagai pestanya para oligarki atau para bos tambang.

Inilah wajah demokrasi yang tersandera para oligarki.Pilkada pun memantulkan cita rasa demokrasi oligarki atau pasar gelap demokrasi (black market of democracy) dalam kemasan

euphoria demokrasi.Menguatnya fenomena pasar gelap demokrasi saat ini sesungguhnya tidak dampak dari sistem perpolitikan berbiaya

tinggi dan perilaku partai politik atau instrumen demokrasi lainnya. Justru pasar gelap demokrasilah yang menciptakan ruang

kesempatan lahirnya watak-watak oligarki dan predatoris itu.

 

Sistem politik di era demokrasi saat ini menjadi argumen kuat lahirnya perilaku oligarki atau para oligarki predator itu.Partai politik yang ada melembagakan feodalisme politik dan peternakan politik famili.Sementara instrumen demokrasi lainnya sudah diintervensi kekuatan modal sebagai penumpang gelap dan membonceng masuk ke dalam struktur kekuasaan. Kekuatan oligarki telah membajak demokrasi demikian pula struktur ekonomi. Menguasai struktur ekonomi secara otomatis akan mendikte kekuasaan politik. Ini realitas sosio-politik saat ini.

 

Seperti disebutkan di atas, daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam, keterlibatan oligarki lokal menjadi kekuatan yang bisa menghitam-putih kan dinamika demokrasi lokal sebagai local bossism atau local strongman.

Para bos-bos lokal itu seperti disebutkan sebelumnya tidak saja memiliki kepentingan bisnis, tetapi memiliki kepentingan

politik.

 

Sumber daya alam menjadi barter kepentingan dan menyandera selama patronase politik (sang patron) berkuasa.Regulasi atau kebijakan terkait industri tambang yang lahir dari tangan penguasa lokal akan membelikan kelompok bisnis atau kroni bisnis.Fakta di Kalimantan Selatan memperkuat argumentasi

ini.

 

Pembiaran eksploitasi tambang dan kelapa sawit selama ini telah melahirkan kerusakan lingkungan, penggundulan hutan,kebakaran hutan, banjir dan sejumlah penyakit sosial lainnya.Regulasi dan aturan main yang lahir dari tangan para politisi (lembaga legislatif dan eksekutif) menjadi instrumen justifikasi tehadap perilaku keserakahan itu.

 

Posisi negara sudah menjadi komperador dan predator bagi kepentingan pasar melalui sejumlah regulasi dan kebijakan yang dibuat