JAKARTA, BIN.COM – Anggota DPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo mengapresiasi film drama komedi ‘Negeri Para Ketua’ yang disutradarai oleh Agustinus Sitorus. Film yang juga dibintangi Gubernur terpilih Sumatera Utara Bobby Naution ini mengambil latar belakang Kota Medan yang terkenal dengan keberagaman etnis dan budaya, serta menggambarkan konflik yang terjadi antar lima kubu besar yang mewakili berbagai kelompok etnis di kota tersebut. Kubu-kubu yang digambarkan dalam film ini adalah Kubu Jawa, Kubu Melayu, Kubu Batak, Kubu India serta Kubu Tionghoa.
“Film ‘Negeri Para Ketua’ mengeksplorasi bagaimana perbedaan budaya dapat menimbulkan konflik. Tetapi di sisi lain, juga memungkinkan terjadinya dialog dan pemahaman di antara berbagai kelompok yang ada. Mengingatkan kita bahwa meskipun perbedaan mungkin menimbulkan gesekan, namun melalui dialog dan pemahaman bisa membuka jalan menuju persatuan,” ujar Bamsoet usai menyaksikan film ‘Negeri Para Ketua’ di Jakarta, Jumat (6/12/24).
Hadir Sutradara Agustinus Sitorus serta para pemain ‘Negeri Para Ketua’ antara lain Aura Kasih, Leony Vitria serta Adi Sudirja.
Ketua MPR RI ke-15 dan Ketua DPR RI ke-20 ini memaparkan, cerita film ‘Negeri Para Ketua’ berfokus pada perseteruan antara para ketua dari masing-masing kubu yang mewakili budaya dan tradisi yang berbeda-beda. Perseteruan dimulai ketika Acong, Ketua Kubu Tionghoa, ingin memperluas kekuasaan dengan menjodohkan antara Kenzo dan Anjali, adik Rakesh dari Kubu India. Namun, hubungan rahasia antara Anjali dan Binsar, Ketua Kubu Batak, menambah kerumitan konflik ini.
“Sekalipun film ini berfokus pada kekuatan dan konflik antar kubu, cerita yang disajikan tetap ringan dan menghibur. Setiap karakter memiliki motivasi dan tujuan masing-masing, yang pada akhirnya menggambarkan kompleksitas hubungan antar manusia yang tidak terlepas dari latar belakang budaya,” kata Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI ini menambahkan, dengan penggambaran yang humoris, film ini mengajak penonton merenungkan pentingnya toleransi dan saling pengertian. Menyajikan sebuah karya yang mampu merangkul keragaman dengan penuh keharmonisan, dan menjadi titik tolak diskusi mengenai identitas dan persatuan di tengah perbedaan.
“Di akhir cerita tidak hanya pertempuran yang digambarkan sebagai hasil dari ambisi dan ketidakpahaman, tetapi juga harapan untuk perdamaian yang dimungkinkan melalui dialog antar ketua kubu. Pesan moral ini sangat relevan di tengah keragaman budaya Indonesia, dimana setiap individu merupakan bagian dari sebuah mozaik yang lebih besar,” pungkas Bamsoet. (*)