SURABAYA, BIN.COM – Di tengah hiruk-pikuk panggung politik, di mana ambisi bertemu dengan intrik, Sang Pujangga Edan melontarkan sebuah renungan yang membumi. “Kalah menang dalam percaturan politik adalah hal yang biasa. Yang terpenting, tetap semangat menatap langit, dan jangan lupa, bayaran tiap bulannya harus tetap ada,” katanya sembari tersenyum tipis, seolah mengisyaratkan kebijaksanaan dalam kejenakaan.
Ucapan itu muncul saat diskusi santai di sebuah warung kopi sederhana. Sosok yang dikenal dengan gaya bicara nyentrik ini bukan politisi ulung atau tokoh ternama. Namun, pandangan hidupnya kerap menjadi bahan perbincangan. Bagi Sang Pujangga Edan, dunia politik adalah panggung seni, tempat setiap aktor bermain dengan peran yang berubah-ubah.
“Kalah itu bukan akhir, menang pun bukan segalanya. Yang penting tetap kerja, tetap ngopi, dan tetap hidup,” ujarnya sambil menyeruput kopi hitamnya. Kalimat itu menyentuh banyak hati, terutama mereka yang lelah menghadapi kerasnya pertarungan politik.
Realita Politik: Antara Ambisi dan Stabilitas
Dalam dunia politik, kemenangan sering menjadi tujuan utama. Namun, bagi mereka yang berjuang di balik layar, stabilitas kehidupan pribadi menjadi prioritas yang tak kalah penting. Gaji bulanan adalah pengingat bahwa perjuangan politik tak semata soal idealisme, tetapi juga tanggung jawab terhadap keluarga dan diri sendiri.
Sang Pujangga Edan mengingatkan bahwa politik adalah permainan yang penuh risiko. “Kalau kalah, jangan terlalu larut dalam kesedihan. Kalau menang, jangan terlalu jumawa. Karena roda akan terus berputar,” katanya.
Menatap Langit, Menjejak Bumi
Pesan Sang Pujangga Edan adalah pengingat bahwa hidup, seperti politik, adalah perjalanan. Semangat menatap langit—menggapai cita-cita dan mimpi—harus seimbang dengan realita menjejak bumi, memenuhi kebutuhan dan kewajiban.
Ucapan ini, meskipun terdengar sederhana, menjadi cerminan dari kompleksitas manusia dalam menghadapi tantangan hidup. Di balik candaan tentang “bayaran tiap bulan,” tersimpan pelajaran penting: jangan lupa untuk merawat keseimbangan antara idealisme dan pragmatisme.
Bagi Sang Pujangga Edan, hidup adalah seni, dan politik hanyalah salah satu kanvasnya. “Teruslah melukis langit dengan warna-warna harapan, tapi jangan lupa ada nasi yang harus dimakan,” tutupnya dengan tawa.
Dan begitulah, di tengah bisingnya dunia, kata-kata Sang Pujangga Edan mengalir seperti kopi hangat—membumi, menyentuh, dan penuh makna.
Pujangga Edan