SURABAYA, BIN.COM – Fenomena kasus guru yang dilaporkan wali murid karena dianggap melakukan kekerasan terhadap siswa menjadi topik utama diskusi Majelis Ilmu Bangbang Wetan, Sabtu malam (23/11/2024), di halaman kampus Stikosa AWS. Dengan tema “Menakar Ruang Ajar”, diskusi ini mengupas hubungan antara pendidikan di sekolah dan di keluarga dalam membentuk karakter anak.
Acara yang dipandu oleh Sukowidodo ini menghadirkan sejumlah narasumber lintas profesi, seperti Sabrang Mowo Damar Panuluh (Noe Letto), Ketua Stikosa AWS Jokhanan Kristiyono, dosen Universitas Trunojoyo Madura Bagus Irawan, Direktur Politeknik Teknologi Nuklir Indonesia Zainal Arief, pakar filologi Agustin Ariani, serta konten kreator dan komika Yudith. Sebelum diskusi, Agustin menyampaikan sejarah pendidikan moral melalui karya leluhur, seperti tembang macapat, yang menanamkan budi pekerti sejak dini.
Diskusi ini juga dimeriahkan dengan penampilan grup musik Gupala, yang membawakan musik beraliran rock, serta pemasangan video wall raksasa di panggung utama, menciptakan suasana berbeda dibandingkan dua edisi Bangbang Wetan sebelumnya di kampus tersebut.
Guru dalam Persimpangan: Dulu Menghukum, Kini Dituntut
Moderator Sukowidodo mengawali diskusi dengan menggambarkan pergeseran pola hubungan guru-murid. Dulu, tindakan fisik oleh guru dianggap wajar untuk mendidik disiplin. Namun, kini tindakan serupa kerap berujung pada laporan wali murid atau tuntutan hukum. “Banyak guru memilih diam saat murid berbuat onar, takut dilaporkan ke orang tua,” ujarnya.
Ketua Stikosa AWS, Jokhanan Kristiyono, mengkritik fenomena ini. Ia khawatir, jika terus dibiarkan, akan lahir “generasi strawberry”—tampak menarik di luar, tetapi rapuh di dalam. Ia mencontohkan kasus siswa yang melapor hanya karena kepanasan akibat AC sekolah yang rusak. “Pendidikan utama seharusnya dimulai di rumah,” tegasnya.
Senada dengan itu, Bagus Irawan menekankan pentingnya peran orang tua. Ia mengkritik anggapan bahwa sekolah adalah satu-satunya tempat mendidik anak. “Waktu di sekolah hanya beberapa jam. Sisanya adalah tanggung jawab keluarga,” ujarnya.
Komika Yudith, dengan gaya humornya, menyampaikan sudut pandang menarik. Menurutnya, masalah di sekolah sering kali berakar dari kurangnya cinta dan perhatian orang tua di rumah. “Murid yang bermasalah bukan karena sekolah, tapi karena mereka mencari cinta yang hilang di rumah,” sindirnya.
Tiga Lingkar Pendidikan Versi Sabrang
Sabrang Noe Letto membagi pendidikan anak ke dalam tiga lingkar ruang belajar.
1. Pendidikan di Rumah
Orang tua, menurut Sabrang, wajib menanamkan nilai-nilai dasar seperti sopan santun, adab, dan akhlak. Ia mengutip riset yang menunjukkan bahwa anak dari keluarga harmonis cenderung memiliki prestasi lebih baik di sekolah.
2. Pendidikan di Sekolah
Sekolah, lanjutnya, bertugas mengajarkan ilmu yang sudah terstruktur dan teruji, seperti matematika atau sains. “Sekolah adalah ruang belajar ilmu yang sudah dikodifikasi,” jelasnya.
3. Pendidikan di Ruang Publik
Ruang publik mengajarkan keterampilan yang tak tertulis, seperti kreativitas, keberanian, dan toleransi. Jika bekal di rumah dan sekolah sudah kuat, seseorang akan mampu menjadi individu unggul di ruang publik.
Ruang Publik untuk Semua
Menutup diskusi, Jokhanan menegaskan bahwa Stikosa AWS berkomitmen menyediakan ruang publik untuk diskusi terbuka. Program seperti Munio! dan Majelis Ilmu Bangbang Wetan menjadi wadah belajar lintas generasi dan profesi. “Kami ingin membuka ruang seluas-luasnya bagi siapa saja yang ingin belajar, tanpa batas,” tutupnya.
Acara yang dipenuhi oleh jamaah, sebagian besar anak muda, ini kembali menegaskan pentingnya kolaborasi pendidikan antara keluarga, sekolah, dan masyarakat untuk membentuk generasi yang tangguh, kreatif, dan berbudi pekerti.
Bambang Tri Kasmara